Sunday, October 23, 2011

Lagi-Lagi Kau Hanya Fatamorgana

Lama jemariku tidak menggerutu bergelut dengan huruf-huruf dalam bingkaian keyboard dan layar komputer! Rindu sekaligus geregetan untuk menggelutinya lagi, hha.
Jika aku harus menyusun untaian kata, akankah tentang rindu? dendam? ataukah tentang?
 Apakah rindu? Rindu adalah aku yang sedang merampok semua apotik karena kau, sejenis
obat yang telah kucandui, dan tiada lagi satupun yang menjualnya padaku.
Apakah hampa? Hampa adalah aku di perahu, memegang dayung, tapi kemarau telah menanduskan sungai ini, sungai yang akan menujukanku padamu.
Apakah dendam? Dendam adalah aku, mendung besar berhalilintar. Yang sebentar lagi akan kutujukan kepada mereka yang mempergunjingkan sebuah kisah.
Apakah dingin? Dingin adalah derajat baru yang ingin kutetapkan, mengukur suhu hatiku. Mungkin
satuannya akan kupakai merangkai suatu nama yang juga belum terpikirkan olehku.
Apakah rumput? Rumput adalah kau yang keluar subuh, kakimu telanjang. Inginku melacak jejakmu, namun telah disamarkan embun. Jejakmu yang pergi terburu.
Apakah tidur? Tidur adalah mimpi yang menarik tanganku, memberat di pelupuk mataku, dan ia membincangkan cerita tentang engkau.
Apakah buku? Buku adalah aku menyelam ke dalam sejilid kertas yang rasanya manis, asam, asin, pahit. Rasa yang begitu ramai saat kau dan aku menyusun jilid demi jilid kala itu.
Apakah rumah? Rumah adalah tubuhku yang kian menutup pintu. Hatiku menunggu, jika
engkau tak mengetukku, takkan pernah kubuka pintu ini.
Apakah haus? Haus adalah mulut dan bibirku. Mulut disaat kau masukkan sedotan air basahi kerongkonganku, dan bibir disaat kucoba mengecup keningmu. Ahhh..., kusadari lagi kau hanyalah fatamorgana.
Apakah lapar? Lapar adalah aku yang melewatkan jam makan malam, memandang apa saja yang terhidang di meja, namun tak kulahap karena engkau tak ada di sana.
Apakah malam? Malam adalah ketika aku menatapnya dengan wajah pucat-pasi, sebab engkaulah matahari bagi siang kesadaranku, dan kini tak ada wajahmu yang mengisi malamku.
Apakah arus sungai? Arus sungai adalah engkau di muara itu, menunggu, aku tak bergegas, sebab aku takkan sampai, takkan bisa sampai, karena sungaimu yang telah kering. Inginku berjalan, namun lumpur hidup itu siap menenggelamkan kapan saja dia menginginkanku.

1 comment: